Istilah pembangunan
berkelanjutan pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam World Conservation
Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (IUCN), lalu pada tahun 1981 dipakai
oleh Lester R. Brown dalam buku Building a Sustainable Society (Keraf
2002). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat populer ketika pada
tahun 1987 World Commision on Environment and Development atau dikenal
sebagai Brundtland Commision menerbitkan buku berjudul Our Common
Future (Fauzi 2004). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses
politik yang akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de
Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah
agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia (Keraf 2002).
Konsep berkelanjutan
merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian
keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Karena adanya
multi-dimensi dan multi-interpretasi ini, para ahli sepakat untuk sementara
mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang
menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi 2004). Konsep keberlanjutan ini paling tidak
mengandung dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain
menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang, dan dimensi interaksi
antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan (Heal 1998 dalam Fauzi 2004).
Pezzey melihat
aspek keberlanjutan dari sisi yang berbeda.
Keberlanjutan memiliki pengertian statik dan dinamik.
Keberlanjutan statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan,
sementara keberlanjutan dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi
yang terus berubah. Adapun Haris melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat
diperinci menjadi tiga aspek pemahaman
(Fauzi 2004), yaitu:
1. Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan
pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat
merusak produksi pertanian dan industri.
2. Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu
memelihara sumber daya yang stabil, menghindari
eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan
lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati,
stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk
kategori sumber-sumber ekonomi.
3. Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang
mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan,
pendidikan, gender dan akuntabilitas politik.
Menurut Munasinghe
(1993), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan
ekonomi (economic objective),
tujuan ekologi (ecological objective)
dan tujuan sosial (social objective).
Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan pertumbuhan (growth); tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi sumber daya alam (natural
resources conservation); dan tujuan sosial terkait dengan masalah
pengurangan kemiskinan (poverty)
dan pemerataan (equity). Dengan
demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya
harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial.
Menurut Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR 1988),
“pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya yang berhasil
untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam”
(pengelola usaha tani yang memiliki tingkat keberdayaan berkelanjutan).
Diharapkan pertanian yang berkelanjutan akan menghasilkan pula petani yang
berdaya secara berkelanjutan pula. Ciri-ciri pertanian berkelanjutan adalah
sebagai berikut:
1. Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas sumber daya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem
secara keseluruhan–dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah
ditingkatkan. Dua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola serta kesehatan
tanaman dan hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis
(regulasi sendiri). Sumber daya lokal digunakan secara ramah dan yang
dapat diperbaharui.
2. Dapat berlanjut secara ekonomis, yang berarti petani mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan, sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan dan dapat
melestarikan sumber daya alam dan meminimalisasikan risiko.
3. Adil, yang berarti sumber daya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat
terpenuhi dan begitu juga hak mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang
memadai dan bantuan teknis terjamin. Masyarakat berkesempatan untuk
berperanserta dalam pengambilan keputusan di lapangan dan di masyarakat.
4. Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua makhluk hidup (manusia,
tanaman, hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar
(kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, rasa sayang) dan termasuk
menjaga dan memelihara integritas budaya dan spiritual masyarakat.
5. Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri
dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya, populasi yang bertambah, kebijakan dan permintaan pasar.
Dalam “World Summit on the Information Society five years on: Information and
communications Technology for Inclusive Development” (ESCAP 2008) dinyatakan bahwa
wilayah Asia-Pacific menghadapi berbagai tantangan
dalam menghadapi target tujuan pembangunan pada millennium pertama (antara tahun 1990 dan 2015), sejumlah
penduduk menderita karena kelaparan.
Keberlanjutan pertanian dan keamanan pangan terancam oleh rendahnya
hasil pertanian, miskinnya pengelolaan sumber daya tanah dan air, serta
pendidikan tenaga kerja bidang pertanian yang berada di bawah standar. Kondisi penduduk tersebut juga sangat rentan
terhadap bencana, seperti keringan, banjir, gempa bumi dan tanah longsor. Teknologi informasi
dan komunikasi dapat diterapkan dalam mendukung manajemen sumber daya, pemasaran, penyuluhan
dan mengurangi resiko kehancuran untuk membantu negara-negara
meningkatkan produksi pangan dan mengurangi ancaman terhadap ketahanan pangan.
Berdasarkan
penelitian Wahid (2006) terhadap pemanfaatan kafe internet, faktanya diketahui
bahwa penggunaan internet (aplikasi teknologi informasi) cenderung dimanfaatkan
khususnya untuk meningkatkan kapabilitas pendidikan secara personal dan
pengalaman internet, sekolahan di Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat
memainkan peranan yang penting dalam mengembangkan sikap dan keahliannya untuk
meningkatkan manfaat sosial dari penggunaan web. Hal ini berarti juga mendidik masyarakat
dalam bagaimana caranya menggunakan web tersebut untuk mencari informasi yang
tepat dan relevan dalam bahasa yang dapat dipahami. Selanjutnya,
Purbo (2002) memiliki argumentasi bahwa pergerakan golongan akar rumput
(grassroots movements) mendorong pengembangan akses dan pemanfaatan internet di
Indonesia.
Meskipun masih
terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan TIK menjadi sangat komplek dan
sulit untuk diadopsi, TIK sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih
besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani. Hal
ini ditunjukkan ketika beberapa lembaga penelitian dan pengembangan
menyampaikan studi kasus yang
mendeskripsikan bagaimana TIK telah
dimanfaatkan oleh petani dan stakeholders
usahawan pelaku bidang pertanian sehingga memperoleh peluang yang lebih
besar untuk memajukan kegiatan usahataninya. Keberhasilan pemanfaatan TIK oleh
petani di Indonesia dalam memajukan usahataninya ditunjukkan oleh beberapa
kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan
promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Community Training
and Learning Centre (CTLC) di Pancasari
(Bali) dan Pabelan (Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan
lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited
Potential.
Melalui akses
informasi digital dari internet,
petani mengenal teknologi budidaya paprika dalam rumah kaca. Sejak mengirimkan profil produksi di internet, permintaan terhadap
produk pertanian yang diusahakan terus berdatangan. Promosi melalui internet dapat memutus
hubungan petani dengan tengkulak yang sering memberikan harga jauh di bawah
harga pasar (Sigit et al. 2006). Melalui Unit Pelayanan Informasi Pertanian
tingkat Desa–Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui inovasi (UPIPD-P4MI)
yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian, petani di sekitar lokasi UPIPK
sudah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil pertanian
yang diusahakan (UPIPD Kelayu Selatan- P4MI 2009).
Manfaat yang dapat diperoleh melalui kegiatan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (Mulyandari 2005), khususnya dalam mendukung
pembangunan pertanian berkelanjutan di antaranya adalah:
1.
Mendorong terbentuknya jaringan informasi
pertanian di tingkat lokal dan nasional.
2.
Membuka akses petani terhadap informasi
pertanian untuk: 1) Meningkatkan peluang potensi peningkatan pendapatan dan
cara pencapaiannya; 2) Meningkatkan kemampuan petani dalam meningkatkan posisi
tawarnya, serta 3) Meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan diversifikasi
usahatani dan merelasikan komoditas yang diusahakannya dengan input yang
tersedia, jumlah produksi yang diperlukan dan kemampuan pasar menyerap output.
3.
Mendorong terlaksananya kegiatan pengembangan,
pengelolaan dan pemanfaatan informasi pertanian secara langsung maupun tidak
langsung untuk mendukung pengembangan pertanian lahan marjinal.
4.
Memfasilitasi dokumentasi informasi pertanian
di tingkat lokal (indigeneous knowledge) yang dapat diakses secara lebih luas
untuk mendukung pengembangan pertanian lahan marjinal.