Thursday, February 21, 2013

APLIKASI TIK DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN


Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (IUCN), lalu pada tahun 1981 dipakai oleh Lester R. Brown dalam buku Building a Sustainable Society  (Keraf  2002). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat populer ketika pada tahun 1987 World Commision on Environment and Development atau dikenal sebagai Brundtland Commision menerbitkan buku berjudul Our Common Future (Fauzi  2004).  Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik yang akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia (Keraf 2002).
Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini, para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi 2004). Konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi, yaitu dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang, dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan (Heal 1998 dalam Fauzi 2004).
Pezzey melihat aspek keberlanjutan dari sisi yang berbeda.  Keberlanjutan memiliki pengertian statik dan dinamik. Keberlanjutan statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah. Adapun  Haris  melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman  (Fauzi 2004), yaitu:
1.       Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri.
2.       Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi.
3.       Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik.
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (economic objective), tujuan ekologi (ecological objective) dan tujuan sosial (social objective). Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan pertumbuhan (growth); tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi sumber daya alam (natural resources conservation); dan tujuan sosial terkait dengan masalah pengurangan kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity). Dengan demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial.
Menurut Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR 1988), “pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam” (pengelola usaha tani yang memiliki tingkat keberdayaan berkelanjutan). Diharapkan pertanian yang berkelanjutan akan menghasilkan pula petani yang berdaya secara berkelanjutan pula. Ciri-ciri pertanian berkelanjutan adalah sebagai berikut:
1.       Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas sumber daya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan–dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Dua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola serta kesehatan tanaman dan hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumber daya lokal digunakan secara ramah dan yang dapat diperbaharui.
2.       Dapat berlanjut secara ekonomis, yang berarti petani mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan dan dapat melestarikan sumber daya alam dan meminimalisasikan risiko.
3.       Adil, yang berarti sumber daya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai dan bantuan teknis terjamin. Masyarakat berkesempatan untuk berperanserta dalam pengambilan keputusan di lapangan dan di masyarakat.
4.       Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua makhluk hidup (manusia, tanaman, hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar (kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, rasa sayang) dan termasuk menjaga dan memelihara integritas budaya dan spiritual masyarakat.
5.       Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya, populasi yang bertambah, kebijakan dan permintaan pasar.
Dalam “World Summit on the Information Society five years on: Information and communications Technology for Inclusive Development (ESCAP 2008) dinyatakan bahwa wilayah Asia-Pacific menghadapi berbagai tantangan dalam menghadapi target tujuan pembangunan pada millennium pertama (antara tahun 1990 dan 2015), sejumlah penduduk menderita karena kelaparan.  Keberlanjutan pertanian dan keamanan pangan terancam oleh rendahnya hasil pertanian, miskinnya pengelolaan sumber daya tanah dan air, serta pendidikan tenaga kerja bidang pertanian yang berada di bawah standar.  Kondisi penduduk tersebut juga sangat rentan terhadap bencana, seperti keringan, banjir, gempa bumi dan tanah longsor.  Teknologi informasi dan komunikasi dapat diterapkan dalam mendukung  manajemen sumber daya, pemasaran, penyuluhan dan mengurangi resiko kehancuran untuk membantu negara-negara meningkatkan produksi pangan dan mengurangi ancaman terhadap ketahanan pangan.
Berdasarkan penelitian Wahid (2006) terhadap pemanfaatan kafe internet, faktanya diketahui bahwa penggunaan internet (aplikasi teknologi informasi) cenderung dimanfaatkan khususnya untuk meningkatkan kapabilitas pendidikan secara personal dan pengalaman internet, sekolahan di Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat memainkan peranan yang penting dalam mengembangkan sikap dan keahliannya untuk meningkatkan manfaat sosial dari penggunaan web.  Hal ini berarti juga mendidik masyarakat dalam bagaimana caranya menggunakan web tersebut untuk mencari informasi yang tepat dan relevan dalam bahasa yang dapat dipahami.   Selanjutnya,  Purbo (2002) memiliki argumentasi bahwa pergerakan golongan akar rumput (grassroots movements)  mendorong pengembangan akses dan pemanfaatan internet di Indonesia. 
Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan TIK menjadi sangat komplek dan sulit untuk diadopsi, TIK sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani. Hal ini ditunjukkan ketika beberapa lembaga penelitian dan pengembangan menyampaikan studi kasus  yang mendeskripsikan bagaimana TIK telah dimanfaatkan oleh petani dan stakeholders usahawan pelaku bidang pertanian sehingga memperoleh peluang yang lebih besar untuk memajukan kegiatan usahataninya. Keberhasilan pemanfaatan TIK oleh petani di Indonesia dalam memajukan usahataninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil produksinya dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Community Training and Learning Centre (CTLC) di Pancasari (Bali) dan Pabelan (Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nonprofit di bawah Program Unlimited Potential
Melalui akses informasi digital dari internet, petani mengenal teknologi budidaya paprika dalam rumah kaca. Sejak mengirimkan profil produksi di internet, permintaan terhadap produk pertanian yang diusahakan terus berdatangan.  Promosi melalui internet dapat memutus hubungan petani dengan tengkulak yang sering memberikan harga jauh di bawah harga pasar (Sigit et al. 2006).  Melalui Unit Pelayanan Informasi Pertanian tingkat Desa–Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui inovasi (UPIPD-P4MI) yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian, petani di sekitar lokasi UPIPK sudah memanfaatkan internet untuk akses informasi dan promosi hasil pertanian yang diusahakan (UPIPD Kelayu Selatan- P4MI 2009).
Manfaat yang dapat diperoleh melalui kegiatan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi  (Mulyandari 2005), khususnya dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan di antaranya adalah:
1.       Mendorong terbentuknya jaringan informasi pertanian di tingkat lokal dan nasional.
2.       Membuka akses petani terhadap informasi pertanian untuk: 1) Meningkatkan peluang potensi peningkatan pendapatan dan cara pencapaiannya; 2) Meningkatkan kemampuan petani dalam meningkatkan posisi tawarnya, serta 3) Meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan diversifikasi usahatani dan merelasikan komoditas yang diusahakannya dengan input yang tersedia, jumlah produksi yang diperlukan dan kemampuan pasar menyerap output.
3.       Mendorong terlaksananya kegiatan pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan informasi pertanian secara langsung maupun tidak langsung untuk mendukung pengembangan pertanian lahan marjinal.
4.       Memfasilitasi dokumentasi informasi pertanian di tingkat lokal (indigeneous knowledge) yang dapat diakses secara lebih luas untuk mendukung pengembangan pertanian lahan marjinal.